Perbedaan Sistem Pemerintahan Khilafah, Mulkiyah dan Demokratiyah

Islam tidak mengakui sistem kerajaan (mulkiyah). Sistem pemerintahan Islam juga tidak menyerupai sistem kerajaan. Hal itu karena dalam sistem kerajaan, seorang anak (putra mahkota) menjadi raja karena pewarisan. Umat tidak memiliki andil dalam pengangkatan raja. Adapun dalam sistem Khilafah tidak ada pewarisan. Akan tetapi, baiat dari umatlah yang menjadi metode untuk mengangkat khalifah. Sistem kerajaan juga memberikan keistimewaan dan hak-hak khusus kepada raja yang tidak dimiliki oleh seorang pun dari individu rakyat.

Hal itu menjadikan raja berada di atas undang-undang dan menjadikannya simbol bagi rakyat, yakni ia menjabat sebagai raja tetapi tidak memerintah, seperti yang ada dalam beberapa sistem kerajaan. Atau ia menduduki jabatan raja sekaligus memerintah untuk mengatur negeri dan penduduknya sesuai dengan keinginan dan kehendak hawa nafsunya, sebagaimana yang ada dalam beberapa sistem kerajaan yang lain. Raja tetap tidak tersentuh hukum meskipun ia berbuat buruk atau zalim.

Sebaliknya, dalam sistem Khilafah, Khalifah tidak diberi kekhususan dengan keistimewaan yang menjadikannya berada di atas rakyat sebagaimana seorang raja. Khalifah juga tidak diberi kekhususan dengan hak-hak khusus yang mengistimewakannya—di hadapan pengadilan—dari individu-individu umat. Khalifah juga bukanlah simbol umat dalam pengertian seperti raja dalam sistem kerajaan. Akan tetapi, Khalifah merupakan wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan. Ia dipilih dan dibaiat oleh umat untuk menerapkan hukum-hukum syariah atas mereka. Khalifah terikat dengan hukum-hukum syariah dalam seluruh tindakan, kebijakan, keputusan hukum, serta pengaturannya atas urusan-urusan dan kemaslahatan umat.

Begitu pula islam tidak mengakui sistem demokrasi (demokratiyah). Sistem demokrasi terlepas itu republik atau parlementer berdiri atas pilar sistem demokrasi, yang kedaulatannya ada ditangan rakyat . Rakyatlah yang memikili hak untuk memerintah serta membuat aturan, termasuk rakyatlah yang kemudian memiliki hak untuk menentukan seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk memecatnya. Rakyat juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar serta perundang-undangan, termasuk berhak menghapus serta mengubahnya (Abdul Qadim zalum. Nidlamul Hukmi Fil Islam.Darul Ummah. Cet. 1. 2002).

Secara teoritis dan praktis Kedaulatan rakyat yang menjadi cacat bawaan demokrasi. Pasalnya rakyat sendiri adalah individu yang tak lepas dari tarikan hawa nafsu dangodaan setan. Karena itu, dalam demokrasi menyerahkan timbangan baik-buruk atau hala-haram kepada rakyat jelas sebuah kesalahan fatal. Selain itu, dengan kedaulatan rakyat sebagai inti, demokrasi mengklaimbahwa segala keputusan hokum selalu didasarkan pada prinsip suara mayoritas. Namun pada praktiknya, faktanya DPR/parlemen sering dikuasai oleh segelintir elit politik,para pemilik modal, atau kedua-duanya, suara mayoritas hanyalah dihasilkan dari suara minoritas mereka itu,tidak mencerminkan suara mayoritas. Wajar kalau kemudia banyak UU,keputusan hokum atau peraturan yang lahir dari parlemen hanya mewakili kelompokminoritas tersebut.lahirlah UU Migas, UU Listrik, UU para pemilik modal yang semuanya merugikan rakyat. Karena itu wajar kalau Aristoteles enyebut demorasi sebagai sebuah kemerosotan. Alangkah tidak memungkinkannya orang banyak memerintah. Bahkan plato ,pemikir Yunani yang juga diagung-agungkan oleh barat, melancarkan kritik terhadap demokrasi. Katanya , kebanyakan orang bodoh atau jahat atau kedua-duanya cenderung berpihak kepada diri sendiri. Jika orang banyak ini dituruti maka muncullah kekuasaan yang bertumpu pada ketiranian dan terror. Karena itu pula diyakini, hanay orang segelintir yang diuntungkan dari sistem pemerintahan demokrasi ini (Farid Wadjdji dan Shiddiq Al-jawi,et.al. Ilusi Negara Demokrasi.Al-Azhar Press. Bogor.2009)

Perlu dipahami pembeda utama sistem khilafah dengan sistem yang lain, adalah empat pilar yang dimiliki oleh sistem khilafah yaitu :

1. Kedaulatan ditangan syara’ (as-Siyadah li Syari’)
2. Kekuasaan milik umat
3. Mengangkat satu khalifah hukumnya fardlu bagi seluruh kaum muslimin
4. Hanya khilafah yang berhak melakukan tabbani (adobsi) terhadap hokum syara’

Adapun dalam Islam, kedaulatan tertinggi atau kewenangan untuk melakukan legislasi (menetapkan hukum) tidak di tangan rakyat, tetapi ada pada Allah. Tidak seorang pun selain Allah dibenarkan menentukan halal dan haram. Dalam Islam, menjadikan kewenangan untuk membuat hukum berada di tangan manusia merupakan kejahatan besar. Allah SWT berfirman:

إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ

“Menetapkan hokum itu hanyalah milik Allah”. (TQS. Yusuf [12];40)

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.(TQS. An-Nisa’[4]:65)

Begitula dalam firmanNya;
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ….

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah..(TQS. At-Taubah[9]:31)

Menarik sekali ketika turun ayat di atas, Rasulullah saw. Menjelaskan bahwa sesungguhnya para pembesar dan para rahib telah membuat hukum, karena mereka telah menetapkan status halal dan haram bagi masyarakat, lalu masyarakat menaati mereka. Sikap demikian dianggap sama dengan menjadikan para pembesar dan para rahib itu sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Sebagaimana penjelasan Rasulullah saw. ketika menjelaskan maksud ayat tersebut. Penjelasan Rasul tersebut betapa besarnya kejahatan orang yang menetapkan halal dan haram, selain Allah. Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan hadis dari jalan Adi bin Hatim yang berkata:

Aku pernah datang kepada Nabi saw., sementara di leherku bergantung salib yang terbuat dari emas. Nabi saw. Lalu bersabda, “Wahai Adi, campakkan berhala itu dari tubuhmu!” Lalu aku mendengar Beliau membaca al-Quran surat at- Taubah ayat 31 (yang artinya): Mereka menjadikan para pembesar dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Nabi saw. kemudian bersabda, “Benar, mereka tidak menyembah para pembesar dan para rahib itu. Akan tetapi, ketika para pembesar dan para rahib itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka pun menghalalkannya, dan jika para pembesar dan para rahib itu mengharamkan sesuatu, mereka pun mengharamkannya.” (HR at-Tirmidzi).

Pemerintahan dalam Islam juga tidak dengan model kabinet, yang mana setiap departemen memiliki kekuasaan, wewenang, dan anggaran yang terpisah satu sama lain; ada yang lebih banyak dan ada yang lebih sedikit. Keuntungan satu departemen tidak akan ditransfer ke departemen lain kecuali dengan mekanisme yang panjang. Hal ini mengakibatkan banyaknya hambatan untuk mengatasi berbagai kepentingan rakyat, karena banyaknya intervensi dari beberapa departemen hanya untuk mengurus satu kemaslahatan rakyat saja. Padahal seharusnya berbagai kemaslahatan rakyat itu dapat ditangani oleh satu struktur administrasi saja. Dalam sistem republik, pemerintahan didistribusikan di antara departemen yang disatukan dalam kabinet yang memegang kekuasaan secara kolektif. Dalam Islam tidak terdapat departemen yang memiliki kekuasaan pemerintahan secara keseluruhan (menurut bentuk demokrasi). Akan tetapi, Khalifah dibaia oleh umat untuk memerintah mereka menurut Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.

Khalifah berhak menunjuk para Mu‘âwin (Wazîr at-Tafwîdh) untuk membantunya mengemban tanggung jawab kekhilafahan. Mereka adalah para Wazîr—dalam makna bahasa—yaitu para pembantu (Mu‘âwin) Khalifah dalam masalah-masalah yang ditentukan oleh Khalifah.


Adapun masalah umat memilih penguasa atau memilih Khalifah, hal itu merupakan perkara yang telah dinyatakan di dalam nash-nash syariah. Kedaulatan di dalam Islam ada di tangan syariah. Akan tetapi, baiat dari rakyat kepada Khalifah merupakan syarat mendasar agar seseorang menjadi khalifah. Sungguh, pemilihan Khalifah telah dilaksanakan secara praktis di dalam Islam pada saat seluruh dunia masih hidup dalam kegelapan, kediktatoran, dan kezaliman para raja. Siapa yang mendalami tatacara pemilihan Khulafaur Rasyidin—Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib; semoga Allah meridhai mereka—maka ia akan dapat melihat dengan jelas bagaimana dulu telah sempurnanya pembaiatan kepada para khalifah itu oleh ahl al-halli wa al-‘aqdi dan para wakil kaum Muslim. Dengan baiat itu, masing-masing dari mereka menjadi khalifah yang ditaati oleh kaum Muslim. Abdurrahman bin Auf, yang kala itu telah diangkat menjadi wakil atas sepengetahuan mereka yang menjadi representasi pendapat kaum Muslim (mereka adalah penduduk Madinah), telah berkeliling di tengah-tengah mereka; ia bertanya kapada si anu dan si anu, mendatangi rumah ini dan itu, serta menanyai lakilaki dan perempuan untuk melihat siapa di antara para calon khalifah yang ada, yang mereka pilih untuk menduduki jabatan khalifah. Pada akhirnya, pendapat orang-orang mantap ditujukan kepada Utsman bin Affan, lalu dilangsungkanlah baiat secara sempurna kepadanya.

Terakhir, dalam kitab Ajhizah ad-Dawlah al-khilafah yang Dikeluarkan Hizbut Tahrir, sesungguhnya struktur negara Khilafah berbeda dengan struktur semua sistem yang dikenal di dunia saat ini, meski ada kemiripan dalam sebagian penampakannya. Struktur negara Khilafah diambil (ditetapkan) dari struktur negara yang ditegakkan oleh Rasulullah saw. di Madinah setelah Beliau hijrah ke Madinah dan mendirikan Daulah Islam di sana. Struktur negara Khilafah adalah struktur yang telah dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin setelah Rasulullah saw. wafat. Dengan penelitian dan pendalaman terhadap nash-nash yang berkaitan dengan struktur negara itu, jelaslah bahwa struktur negara Khilafah dalam bidang pemerintahan dan administrasinya adalah sebagai berikut:

1. Khalifah.
2. Para Mu’âwin at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh).
3. Wuzarâ’ at-Tanfîdz.
4. Para Wali.
5. Amîr al-Jihâd.
6. Keamanan Dalam Negeri,
7. Urusan Luar Negeri.
8. Industri.
9. Peradilan.
10. Mashâlih an-Nâs (Kemaslahatan Umum).
11. Baitul Mal.
12. Lembaga Informasi.
13. Majelis Umat (Syûrâ dan Muhâsabah).

Begitulah sistem mulkiyah dan demokratiyah bukan hanya bertentangan dengan Islam, namun juga membuahkan kehancuran dimasyarakat ketika kedua sistem tersebut diimplentasikan dalam kehidupan. Terutama kesengsaraan akibat penerapan sistem demokrasi masih kita rasaka sampai sekarang ini. Wallahua'lam.

0 Response to "Perbedaan Sistem Pemerintahan Khilafah, Mulkiyah dan Demokratiyah"

Posting Komentar